Senin, 15 Oktober 2018


CRITICAL REVIEW JURNAL PERENCANAAN PESISIR
POLA PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SECARA TURUN TEMURUN OLEH SUKU BAJO

·      Ringkasan

Kajian critical review ini berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Sri Susyanti Nur dengan judul “Pola Penguasaan Dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun Temurun Oleh Suku Bajo”. Jurnal ini berisi tentang pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah perairan pesisir secara turun temurun oleh suku bajo. Penelitian ini di latar belakangi dari semakin terdesaknya wilayah perairan pesisir yang dikuasai sejak lama oleh masyarakat Suku Bajo secara turun temurun. Dari hal tersebut membuat permukiman Suku Bajo berpindah ke wilayah daratan, dimana daerah tersebut belum ditetapkannya peraturan rencana zonasi wilayah perairan dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Jika peraturan ini belum terbentuk, maka masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut tidak mendapat kepastian dan perlindungan hukum yang berupa hak terhadap wilayah permukiman maupun kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan di Suku Bajo. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah perairan pesisir secara turun temurun oleh suku bajo. Adapun yang dimaksudkan yaitu untuk mengetahui bagaimana perilaku Suku Bajo yang bermukim di atas air dalam menguasai dan memanfaatkan wilayah perairan sebagai sumber pekerjaan dan tempat tinggal serta bagaimana nilai dan kearifan lokal yang ada secara turun temurun diterapkan dalam pemanfaatan wilayah perairan. Pada penelitian yang dilakukan terdapat metode yang digunakan yaitu menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif dengan fokus penelitian mengenai pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah perairan pesisir secara turun temurun oleh suku bajo. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu menunjukkan bahwa dalam pola penguasaan dan pemanfaatan perairan pesisir oleh masyarakat Suku Bajo yang dilakukan secara turun temurun memiliki kesamaan yaitu bagaimana mereka memandang laut sebagai aset berharga yang diberikan oleh leluhur dalam memberikan kehidupan mereka. Selain itu, dalam pemanfaatan wilayah pesisir Suku Bajo ditandai dari adanya upacara/ritual adat yang dipimpin oleh Kepala Adat dan berlakunya aturan-aturan tidak tertulis terkait penggunaan alat tangkap ikan yang sederhana dan ramah lingkungan.
·      Pembahasan
Masyarakat Suku Bajo merupakan masyarakat yang mayoritas memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Penduduk ini tumbuh dan berkembang di wilayah perairan pesisir Kepulauan Sulawesi. Keberadaan Suku Bajo ini dapat ditemui di Desa Tanjung Pinang Kabupaten Muna Barat, di Desa La Gasa Kecamatan Duruka Kabupaten Muna, di Desa Terapung Kecamatan Mawasangka Kabupatane Buton Tengah dan Suku Bajo di Kelurahan BajoE Kabupataen Bone. Para nelayan Suku Bajo memulai seluruh aktivitas sehari-hari dengan menjelajahi lautan dan melakukan segala kegiatan di atas sebuah perahu hingga bermukim di atas air. Hal tersebut telah dijalani sejak lama dimana memiliki tempat tinggal di atas perahu dengan bentuk atap yang menyerupai atap rumah pada umumnya serta tersedia fasilitas yang seadanya.
Nelayan Suku Bajo dikenal sebagai nelayan terbaik yang mengembara ke seluruh wilayah lautan Nusantara dengan menggunakan alat transortasi laut berupa kapal/sampan yang seadanya sehingga mengharuskan mereka menjadi nomaden. Bagi masyarakat Suku Bajo, mereka memiliki pandangan yang sama terhadap laut yaitu dengan mengganggap laut sebagai sumber kehidupan bagi mereka. Selain itu, laut sebagai sumber kehidupan ekonomi dapat dilihat dari mata pencaharian Suku Bajo yang mayoritas sebagai nelayan. Berdasarkan data 2015 bahwa terdapat 90% penduduk Suku Bajo dengan pekerjaan sebagai nelayan di Desa La Gasa, 80% nelayan berasal di Desa Terapung, 70% nelayan berasal dari Desa Tanjung Pinang dan 35% nelayan dari Kelurahan BajoE. Masyarakat Suku Bajo menggunakan laut sebagai wilayah permukiman dengan terdapat 185 rumah di Desa Tanjung Pinang, 57 rumah di Desa La Gasa, 80 rumah di Desa Terapung dan terdapat 35 rumah di Kelurahan BajoE. Secara umum, wilayah permukimannya mengikuti pola memanjang dan mengelompok dengan menempati wilayah sepanjang pantai Teluk Bone.
Saat ini kondisi wilayah permukiman Suku Bajo di Kelurahan BajoE telah dihubungkan melalaui jalan setapak dan jembatan kayu menuju daratan. Jika di Desa Terapung kondisi permukiman masih belum tertata rapi dan terlihat sebagian daerah telah terhubung langsung ke daratan melalui jembatan kayu dan bagian lainnya masih menggunakan perahu. Pihak pemerintah Kabupaten Buton pernah memindahkan permukiman Suku Bajo ke daratan, namun mereka kembali lagi ke perairan dan bermukim disana. Hal yang berbeda terjadi di Desa La Gasa dimana kondisi permukiman telah tertata rapi dan memiliki patok batas wilayah perairan, bahkan beberapa rumah telah memiliki sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan izin tertulis dari Kepala Desa. Terdapat syarat dalam membangun rumah seluas 20 x 15 m2 dan memiliki Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pada Desa Tanjung Pinang, memiliki kondisi permukiman yang lebih padat dari desa yang dihuni oleh Suku Bajo. Masyarakat desa ini telah membangun jembatan yang mengoneksikan setiap rumah. Sama halnya di Desa La Gasa, masyarakat suku Bajo di Desa Tanjung Pinang yang membangun rumah memiliki syarat luas tidak lebih dari 300 m2 dengan ketentuan membayar PBB. Pada desa ini terdapat pula perolehan wilayah perairan melalui perwarisan dan jual beli.
Dari sisi budaya dan kepercayaan Suku Bajo mengakui kekuatan gaib yang ada di laut. Kepercayaan tersebut membuat masyarakat Suku Bajo sering melakukan ritual-ritual tertentu yang hingga sekarang masih di pertahankan. Salah satunya adalah Upacara Sangal yang dilakukan saat musim kekurangan ikan dan spesies laut lainnya. Dimana mereka akan melepas spesies yang jumlah produksinya sedang menurun seperti melepas penyu saat populasi tersebut berkurang. Ritual Tika Malupapinang adalah ritual yang dilakukan saat awal musim dan hasil laut berkurang. Upacara ini dilakukan selama 3 hari dengan tidak melaut agar penghuni laut dapat mengatur laut. Selain itu, di kehidupan sehari-hari kegiatan yang dilakukan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kebiasan yang telah ada seperti dilarang membuang lombok dan jeruk nipis, dilarang menumpahkan atau membuang air cucian piring serta air cucian jagung ke laut dan lainnya. Terdapat kearifaan lokal Suku Bajo dalam melaut dan mengambil hasil laut yaitu dengan mengambil ikan yang telah matang usianya dan membiarkan ikan yang muda serta tidak mengambil ikan tertentu yang tengah memasuki siklus musim kawin ataupun bertelur demi menjaga keseimbangan populasi tersebut.
Nelayan Suku Bajo memiliki pengetahuan dalam melaut dan menangkap ikan dimana mereka mampu memprediksikan lokasi yang diketahui memiliki banyak ikan dengan melihat tanda-tanda. Pengetahun lainnya yang dikuasai oleh nelayan suku bajo yaitu terkait alat tangkap yang sederhana dan ramah lingkungan. Alat tangkap yang digunakan berupa pancing dengan mata kail dengan ukuran besar, panah, tombak, peralatan bunre dan cedo yang terbuat dari jaring nilon berbentuk jaring basket dengan rotan yang melingkar. Penggunaan jenis alat tangkap seperti ini dapat menjaga keseimbangan sumber daya laut karena tidak merusak lingkungan. Dengan menerapkan adat-istiadat dari turun temurun sebagai nilai dalam pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah perairan pesisir dianggap sangat bijak dalam menjaga kelesatarian laut.
Penguasaan wilayah perairan secara turun menurun hingga saat ini masih ada sehingga mendasari suatu hak atas wilayah perairan berdasarkan hukum adat. Masyarakat Suku Bajo mengenal perwarisan dan transaksi (jual beli) atas wilayah perairan sehingga dapat disimpulkan bahwa suku bajo memandang wilayah perairan sebagai benda yang dapat dikuasai karena memiliki nilai ekonomis dan dikuasai secara perorangan. Hal ini ditandai adanya peran Kepala Daerah yang memberikan izin pengkapan ikan, izin mendirikan bangunan/rumah, sebagai saksi ketika ada perbuatan jual beli. Selain itu, pembayaran PBB dan sertifikat diterbitkan melalui PRONA yang menjadi acuan bagi pemeritah dalam mengakui dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum terhadap wilayah perairan yang dikuasai dan dimanfaatkan secara turun temurun oleh masyarakat. Pemberian sertifikat untuk permukiman seharusnya dapat dipertimbangkan untuk menetapkan zonasi wilayah tangkapan ikan dan zonasi wilayah permukiman bagi Suku Bajo.
Kemiskinan nelayan Suku Bajo memerlukan kebijakan pemerintah meliputi ketersediaan hukum dan perundang-undangan (RUU tentang pertanahan, RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidayaan Ikan, RPP Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan WP3K). Adanya kemiskinan masyarakat nelayan pesisir disebabkan oleh beberapa faktor antara lain nelayan hanya menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama sehingga tidak ada variasi pekerjaan yang lain yang dilakukan saat produksi ikan berkurang. Status sumber daya perikanan yang merupakan akses terbuka (open access) dan bebas dimanfaatkan dan dikelola oleh semua pihak. Jika kondisi ini terus terjadi maka upaya dalam peningkatan kesejahteraan yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang yang maksimal. Adanya akses terbuka menyebabkan tidak terpeliharanya sumber daya perikanan dan terjadi eksploitasi perairan tanpa batas. Untuk itu, perlu adanya tata kelola perikanan dengan penegasan pada pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan nelayan dengan mengubah akses terbuka menjadi akses terbatas dan terkendali. Perlu penentapan pola pemanfaatan melalui zonasi, memetakan wilayah penangkapan ikan, permukiman, transportasi, pariwisata dan lainnya sehingga tidak menimbulkan konflik terhadap pemanfaatan wilayah perairan. Diperlukan juga kepastian dan perlindungan hukum bagi nelayan pada wilayah tangkapan ikan dan wilayah perairan yang menjadi tempat tinggal Suku Bajo. Pemerintah melalui berbagai perundang-undangan telah mengatur pengelolaan wilayah pesisir, namun hingga saat ini belum memberikan hasil yang maksimal dalam penegakkan hukumnya terutama pada pemberian hak atas wilayah perairan terhadap masyarakat lokal maupun adat.
·      Kritik dan Saran
Berdasarkan pada penelitian “Pola Penguasaan Dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun Temurun Oleh Suku Bajo” bahwa adanya relevansi antara judul penelitian dengan hasil yang di peroleh. Dimana pola penguasaan dan pemanfaatan perairan oleh Suku Bajo berupa penguasaan terhadap wilayah perairan karena masayarakat Suku Bajo telah lama menetap disana, penggunaan alat tangkap yang masih sederhana sehingga tidak mengganggu ekosistem wilayah perairan, pelaksaan upacara adat dalam memanfaatkan perairan sebagai sumber utama penghasilan serta adanya aturan-aturan yang tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dalam memberikan izin membangun rumah dan kegiatan penangkapan ikan.
Pembahasan yang disajikan pada jurnal tersebut telah cukup baik untuk dipahami bagi pembaca karena ada terdapat beberapa istilah bahasa yang jarang ditemui seperti bidok yang memiliki arti perahu dan lainnya. Selain itu, diberikan beberapa data dalam menguatkan pernyataan yang ada seperti persentase data jumlah nelayan sebagai mata pencaharian Suku Bajo dengan jumlah penduduk yang menetap di wilayah perairan tersebut serta jumlah rumah nelayan di atas air yang dirincikan sesuai desa yang dihuni oleh masyarakat Suku Bajo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa analisis deskriptif kualitatif telah baik dilakukan karena dapat menggali permasalahan dan fenomena lebih dalam dari masyarakat Suku Bajo yang tinggal di wilayah perairan. Namun perlu diperhatikan kembali, karena analisis ini bersifat kualitatif sehingga adanya kemungkinan pendapat yang subjektif akan ditemui. Oleh karena itu, perlu adanya pengumpulan dan pengolahan data yang lebih didetailkan lagi agar hasil yang di dapat lebih objektif.
Berdasarkan jurnal yang lain yaitu “Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis Kearifan Lokal Di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur” dengan menggunakan analisis deskriptif bahwa kepercayaan yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan di laut meliputi tidak boleh menangkap jenis ikan tertentu (hiu tutul). Selain itu digunakan alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu jaring dengan mesh size yang seletif dan melestarikan wilayah perkembangbiakan ikan dengan menggunakan rumpon. Pada jurnal ini memiliki kelebihan dan kekurangan yaitu dimana kelebihannya terletak pada metode yang dilakukan yaitu dengan menggunakan teknk PRA (Partisipatory Rural Appraisal) serta FGD (Forum Group Discussion) sehingga informasi yang didapat tidak hanya berasal dari satu pihak namun melibatkan banyak pihak. Namun pada jurnal penelitian ini memiliki kelemahan dimana penjelasan penelitian hanya terbatas pada alat yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, tidak adanya kearifan lokal yang lain seperti upacara melepaskan ikan jika terjadi kekurangan jumlah produksi ikan. Selain itu, berdasarkan jurnal “Pembangunan Hukum Perlindungan Nelayan Tradisional di Aceh Dalam Kaitan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Secara Berkeadilan” dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif yang melihat dari hukum dalam perspektif sosial bahwa perlindungan nelayan tradisional sangat penting dilakukan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan karena keberadaan mereka dalam memanfaatka sumber daya  tidak semata-mata sebagai kegiatan ekonomi tetapi juga terkait dengan budaya dan lingkungan. Terdapat kelebihan yang ada pada penelitian ini yaitu kedalaman analisis yang dilakukan dimana pada penelitian ini memberikan konsep pembaharuan dalam memperbaiki sistem namun dengan tetap berdasar pada UUD 1945. Namun terdapat kelemahan pada jurnal ini dimana penelitian ini masih kurang informatif dalam penyajian datanya, data yang ditampilkan hanya berupa deskriptif sehingga menyulitkan pembaca dalam menangkap isi pembahasan.
Setelah mengkaji jurnal yang ada maka diperoleh manfaat yaitu bagaimana masyarakat tradisional khususnya penduduk Suku Bajo memanfaatkan wilayah perairan dengan bijak dan memperhatikan kelestarian dan keseimbangan ekosistem di wilayah perairan karena laut juga merupakan salah satu sumber kehidupan yang memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir perlu adanya kepastian dan perlindungan hukum agar konflik tumpang tindih kebijakan tidak terjadi serta melakukan penetapan zonasi agar pengelolaan sumber daya laut dapat terarah dilakukan dengan maksimal.
·      Penutup
Berdasarkan pada kajian mengenai “Pola Penguasaan Dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun Temurun Oleh Suku Bajo” bahwa terdapat kesamaan kegiatan dari beberapa daerah yang dihuni oleh Suku Bajo salah satunya yaitu pemanfaatan wilayah perairan dengan menggunakan alat tangkap yang tradisional agar tidak merusak ekosistem yang ada. Selain itu pada desa yang dihuni Suku Bajo diharapkan mendapat aspek legaitas dari pemerintah agar adannya kepastian dan perlindungan hukum bagi nelayan pada wilayah tangkapan ikan dan wilayah perairan yang menjadi tempat tinggal Suku Bajo. Pemerintah juga perlu memaksimalkan pelaksanaan dari perundang-undangan terkait pengelolaan wilayah pesisir agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan peraturan mengenai pemanfaatan dan pengelolaan seperti rencana zonasi wilayah perairan dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) bagi wilayah perairan yang dihuni oleh masyarakat Suku Bajo agar dapat mensejahteraan masyarkat di sekitar wilayah tersebut.

Daftar Pustaka
Nur, Susyanti Sri. 2015. Pola Penguasaan Dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun Temurun Oleh Suku Bajo. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu & Call For Papers Unisbank (Sendi_U) : Makassar.
Julaini. 2015. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis Kearifan Lokal Di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur. Ziraa’Ah Volume 40 Nomor 1 : Samarinda.
Sulaiman, M. Adli Abdullah, Teuku Muttaqin Mansur dan Zulfan. 2014. Pembangunan Hukum Perlindungan Nelayan Tradisional di Aceh Dalam Kaitan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Secara Berkeadilan. Jurnal Media Hukum : Banda Aceh.




Selasa, 20 Maret 2018

Ekosistem Pesisir Pantai


Ekosistem Terumbu Karang
Studi Kasus Teluk Tomini

Salah satu ekosistem laut yang terbentuk dari biota penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur adalah terumbu karang. Ekosistem ini hidup bersama dengan biota lain yang hidup di dasar laut. Terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis dengan kekayaan biodiversitasnya serta produktivitas tinggi sehingga terumbu karang memiliki peran yang sangat penting di lautan. Secara ekologis, terumbu karang sebuah tempat organisme hewan ataupun tumbuhan yang mencari makan dan tempat berlindung. Tetapi secara fisik dapat didefinisikan bahwa terumbu karang dapat menjadi pelindung pantai serta kehidupan ekosistem perairan dangkal dari abrasi laut (Suryanti, 2011).
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki garis pantai dengan panjang 81.000 km serta ekosistem terumbu karang yang kurang lebih seluas 50.000 km2. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki berbagai macam potensi kekayaan sumber daya terutama dari kelautan. Salah satu lokasi yang memiliki kekayaan laut berupa terumbu karang di Indonesia adalah Teluk Tomini. Menurut data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan bahwa teluk tomini merupakan salah satu teluk terbesar di Indonesia dengan luas kurang lebih 6 juta hektar. Aset sumberdaya pesisir dan laut yang terletak di Teluk Tomini merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle) dan Taman Nasional Laut Kepulauan Togean yang dikenal sebagai The Heart of Coral Triangle.
Teluk Tomini merupakan perairan laut terbesar yang dilewati oleh garis khatulistiwa serta tergolong ke dalam perairan semi tertutup (semi enclosed). Terletak pada koordinat 1º15' lintang utara hingga 1º23' lintang selatan dan 120º15' hingga 125º15' bujur timur. Di bagian tengah pada koordinat 0º8'21'' – 0º45'12'' lintang selatan dan 121º33'21'' - 122º23'36'' bujur timur. Teluk Tomini memiliki luas wilayah sekitar 59.500 km2 yang secara administratif berbatasan langsung dengan tiga provinsi di Pulau Sulawesi yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Kawasan ini mempunyai 14 kabupaten / kota serta 23 muara daerah aliran sungai (DAS). Di tengah Teluk Tomini terdapat 56 rangkaian pulau – pulau yang dikenal dengan Kepulauan Togean yang memiliki panjang hingga 90 km. Terdapat 6 pulau yang tergolong sebagai pulau besar di wilayah ini yaitu terdiri dari Pulau Togean, Una – Una, Batulada, Talatakoh, Waleakodi, dan Waleabahi serta selebihnya merupakan pulau – pulau kecil. Terdapat banyak pulau – pulau kecil yang menjadi kawasan wisata karena keindahannya sehingga banyak dikunjungi oleh para wisatawan baik penduduk lokal maupun internasional.
Kepulauan Togean di Teluk Tomini menyimpan kekayaan hayati bawah laut yang sangat banyak. Tercatat ada 4 tipe terumbu karang yang ada di wilayah perairan ini yaitu Karang Cincin (Atol), Karang Tompoh (Patch Reef), Karang Tepi (Fringing Reef) serta Karang Penghalang (Barrier Reef). Sekitar 262 spesies terumbu karang dari 19 famili tersebar di perairan ini yang menjadi spesies endemik Kepulauan Togean seperti Chromis spp, Abudefduf spp, Neoglyphidodon spp, Plectroglyphidodon spp, Pomacentrus spp dan Stegastes spp. Berikut kondisi terumbu karang yang ada di Teluk Tomini.
Gambar 1 Terumbu Karang Teluk Tomini
Sumber : http://www.gocelebes.com/
Terumbu karang yang berada di Teluk Tomini dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan laut yaitu suhu permukaan laut. Pada umumnya suhu permukaan di Teluk Tomini berkisar antara 27,5º–31,5ºC. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa suhu permukaan laut yang ada di Teluk Tomini termasuk kategori yang stabil karena umumnya suhu normal untuk pertumbuhan biota laut berada pada 28º–38ºC. Selain itu adanya faktor lingkungan dari aspek kejernihan air juga dapat mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang. Adanya aktivitas rumah tangga seperti hotel, restoran dan permukiman dapat menyebabkan terjadi pencemaran laut. Kegiatan tersebut menghasilkan limbah domestik berupa detergen, sampah, plastik dan lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi terumbu karang di Teluk Tomini. Penumpukan limbah dapat membuat kondisi perairan Teluk Tomini menjadi tidak jernih dan akan berdampak secara langsung bagi ekosistem terumbu karang yang ada. Hal ini dikarenakan terumbu karang memerlukan air laut yang bersih dari kotoran untuk hidup dan membersihkan diri. Jika perairan kotor maka akan menghalangi cahaya bagi hewan kecil yang berpengaruh dalam pembentukkan terumbu karang. Oleh karena itu kejernihan air laut memiliki pengaruh yang besar dalam tumbuhnya ekosisitem terumbu karang. Terdapat pula faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap terumbu karang yaitu salinitas. Tingkat salinitas di Teluk Tomini berkisar antara 33,5–35,3 psu (practical salinity unit). Kawasan ini memiliki salinitas minimum berkisar antara 33,6–33,8 psu yang mendominasi perairan sekitar ujung teluk sebelah barat serta salinitas maksimum sekitar 34,15–34,5 psu yang dapat ditemukan di perairan sebelah utara Kabupaten Banggai. Salinitas yang maksimum memberikan penjelasan bahwa adanya indikasi penaikan massa air dalam menuju ke permukaan (upwelling) di lahan yang memiliki nutrien besar serta ditandai dari tingginya kandungan klorofil-a yang berfungsi sebagai indikator kesuburan perairan. Jika air laut tercemar karena adanya konsentrasi bahan kimia yang terlarut dalam air maka dapat menyebabkan kadar salinitas air laut menjadi berubah dan dapat mengakibatkan kematian pada ekosistem terumbu karang.
Aktivitas masyarakat yang ada di sekitar kawasan Teluk Tomini yang bermacam-macam dapat memberikan pengaruh bagi terumbu karang yang ada. Dikutip dari Ekuatorial tahun 2015 bahwa setiap hari para nelayan menggunakan alat tangkap ikan yang merusak lingkungan laut seperti pengeboman. Hal tersebut mampu memproduksi rata – rata 70 kilogram ikan per-trip serta nelayan yang menggunaan pukat dan kompresor sebagai alat bantu dapat menghasilkan rata – rata 200 kilogram per-tripnya. Kondisi seperti ini akan membuat jumlah ekosistem terumbu karang terutama di Teluk Tomini menjadi berkurang dan dapat menyebabkan kelangkaan. Seperti yang diketahui bahwa terumbu karang sebagai tempat tinggal biota laut bagi hewan kecil yang menjadi sumber makanan untuk ikan – ikan besar. Jika ekosistem terumbu karang rusak maka akan mengganggu jaringan makanan di laut sehingga mempengaruhi populasi ikan yang ada. Terganggunya ekosistem terumbu karang tersebut dapat juga membuat para nelayan mengalami penyusutan hasil tangkapan ikan yang mana hal tersebut merupakan sumber penghasilan utama mereka. Selain itu di Teluk Tomini terdapat jenis terumbu karang untuk melindungi pantai yaitu terumbu karang tepi dan penghalang yang berfungsi dalam memecah gelombang laut yang alami. Jika jumlah terumbu karang semakin sedikit maka tidak ada yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai dan perusakan lainnya yang disebabkan oleh fenomena air laut.
Melihat kondisi seperti itu maka perlu adanya upaya–upaya yang nyata dalam menyelamatkan terumbu karang baik dari pemerintah maupun masyarakat sehingga ekosistem terumbu karang dapat terjaga kelestariannya. Adapun upaya yang dilakukan untuk meminimalisirkan dampak tersebut (1) melakukan penegakkan hukum yang tegas bagi siapapun yang merusak bahkan memusnakan ekosistem terumbu karang. Hal tersebut sebagai upaya preventif dalam mengatasi jumlah ekosistem terumbu karang yang semakin berkurang. Salah satunya yaitu dengan memasang papan informasi mengenai peraturan terkait ekosistem pesisir. (2) Program pemberdayaan masyarakat yang peduli ekosistem pesisir terutama terumbu karang dengan melakukan sosialisasi terkait pentingnya menjaga ekosistem pesisir yang berkelanjutan sehingga dapat tidak hanya dapat dimanfaatkan di masa sekarang tetapi juga di waktu mendatang. (3) Pemanfaatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir lokal dalam meningkatkan perekonomian masyarakat tanpa merusak lingkungan sehingga antara kesejahteraan ekonomi dan kondisi lingkungan pesisir dapat tetap terjaga. 4) Melibatkan masyarakat dalam rehabilitasi dan pengelolaan pesisir yang ada di kawasan tersebut sehingga masyarakat memiliki pemikiran bahwa keberadaan mereka sangat penting dalam pelestarian ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu diharapkan masyarakat dapat berperan serta dalam mendukung keberlanjutan lingkungan pesisir di Teluk Tomini. Upaya yang dilakukan tersebut tidak akan berjalan secara optimal jika tidak adanya kerjasama antar pihak – pihak yang ada karena mencegah kerusakan terumbu karang lebih baik daripada memperbaiki kerusakannya kerana terumbu karang memerlukan waktu yang sangat lama untuk kembali ke semula.


DAFTAR PUSTAKA
Suryanti, Supriharyono, Willy Indrawan. 2011. Kondisi Terumbu Karang Dengan Indikator Ikan Chaetodontidae di Pulau Sambangan Kepulauan Karimun Jawa, Jepara, Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marina.
Suwarso, Herlisman, Wudianto. 2005. Karateristik Fisik Massa Air Perairan Teluk Tomini. Pusat Perikanan Laut : Jakarta.
Suwarso, B.Sadhotomo, Wudianto. 2007. Perkembangan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini : Suatu Pendekatan ke Arah Managemen yang Bertanggunjawab. Pusat Perikanan Laut : Jakarta.
Amazing Indonesia. (n.d). The Coral Triangle Kepulauan Togean. Diperoleh dari Go Celebes
Direktorat Jendral Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan. (n.d). Data Kawasan Konservasi. Diperoleh dari Konservasi dan Keanekaragaman Hayati
Fattah, Hasdy. (2014). Teluk Tomini Satu Diantara Teluk Terbesar di Indonesia. Diperoleh dari Berita Utama Totabuan.co
Paino, Christopel. (2015). 3000 Orang di Lemito Terancam Kalau Terumbu Karang Teluk Tomini Rusak. Diperoleh dari Ekuatorial ; Environmental News Syndication
Ppesumapapua. (n.d). Mengenal Teluk Tomini. Diperoleh dari Pusat Pengelolaan Ekoregion SumaPapua