CRITICAL REVIEW JURNAL PERENCANAAN PESISIR
POLA PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN
WILAYAH PERAIRAN PESISIR SECARA TURUN TEMURUN OLEH SUKU BAJO
· Ringkasan
Kajian critical review ini
berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Sri Susyanti Nur dengan judul “Pola
Penguasaan Dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun Temurun Oleh
Suku Bajo”. Jurnal ini berisi tentang pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah
perairan pesisir secara turun temurun oleh suku bajo. Penelitian ini di latar
belakangi dari semakin terdesaknya wilayah perairan pesisir yang dikuasai sejak
lama oleh masyarakat Suku Bajo secara turun temurun. Dari hal tersebut membuat
permukiman Suku Bajo berpindah ke wilayah daratan, dimana daerah tersebut belum
ditetapkannya peraturan rencana zonasi wilayah perairan dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).
Jika peraturan ini belum terbentuk, maka masyarakat yang tinggal di wilayah
tersebut tidak mendapat kepastian dan perlindungan hukum yang berupa hak
terhadap wilayah permukiman maupun kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan di
Suku Bajo. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan
pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah perairan pesisir secara turun temurun
oleh suku bajo. Adapun yang dimaksudkan yaitu untuk mengetahui bagaimana perilaku
Suku Bajo yang bermukim di atas air dalam menguasai dan memanfaatkan wilayah
perairan sebagai sumber pekerjaan dan tempat tinggal serta bagaimana nilai dan
kearifan lokal yang ada secara turun temurun diterapkan dalam pemanfaatan
wilayah perairan. Pada penelitian yang dilakukan terdapat metode yang digunakan
yaitu menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif dengan fokus
penelitian mengenai pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah perairan pesisir
secara turun temurun oleh suku bajo. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini
yaitu menunjukkan bahwa dalam pola penguasaan dan pemanfaatan perairan pesisir
oleh masyarakat Suku Bajo yang dilakukan secara turun temurun memiliki kesamaan
yaitu bagaimana mereka memandang laut sebagai aset berharga yang diberikan oleh
leluhur dalam memberikan kehidupan mereka. Selain itu, dalam pemanfaatan
wilayah pesisir Suku Bajo ditandai dari adanya upacara/ritual adat yang
dipimpin oleh Kepala Adat dan berlakunya aturan-aturan tidak tertulis terkait
penggunaan alat tangkap ikan yang sederhana dan ramah lingkungan.
·
Pembahasan
Masyarakat Suku Bajo merupakan masyarakat yang
mayoritas memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Penduduk ini tumbuh dan berkembang
di wilayah perairan pesisir Kepulauan Sulawesi. Keberadaan Suku Bajo ini dapat
ditemui di Desa Tanjung Pinang Kabupaten Muna Barat, di Desa La Gasa Kecamatan
Duruka Kabupaten Muna, di Desa Terapung Kecamatan Mawasangka Kabupatane Buton
Tengah dan Suku Bajo di Kelurahan BajoE Kabupataen Bone. Para nelayan Suku Bajo
memulai seluruh aktivitas sehari-hari dengan menjelajahi lautan dan melakukan
segala kegiatan di atas sebuah perahu hingga bermukim di atas air. Hal tersebut
telah dijalani sejak lama dimana memiliki tempat tinggal di atas perahu dengan bentuk
atap yang menyerupai atap rumah pada umumnya serta tersedia fasilitas yang
seadanya.
Nelayan Suku Bajo dikenal sebagai nelayan terbaik
yang mengembara ke seluruh wilayah lautan Nusantara dengan menggunakan alat
transortasi laut berupa kapal/sampan yang seadanya sehingga mengharuskan mereka
menjadi nomaden. Bagi masyarakat Suku Bajo, mereka memiliki pandangan yang sama
terhadap laut yaitu dengan mengganggap laut sebagai sumber kehidupan bagi
mereka. Selain itu, laut sebagai sumber kehidupan ekonomi dapat dilihat dari mata
pencaharian Suku Bajo yang mayoritas sebagai nelayan. Berdasarkan data 2015
bahwa terdapat 90% penduduk Suku Bajo dengan pekerjaan sebagai nelayan di Desa
La Gasa, 80% nelayan berasal di Desa Terapung, 70% nelayan berasal dari Desa
Tanjung Pinang dan 35% nelayan dari Kelurahan BajoE. Masyarakat Suku Bajo
menggunakan laut sebagai wilayah permukiman dengan terdapat 185 rumah di Desa
Tanjung Pinang, 57 rumah di Desa La Gasa, 80 rumah di Desa Terapung dan
terdapat 35 rumah di Kelurahan BajoE. Secara umum, wilayah permukimannya mengikuti
pola memanjang dan mengelompok dengan menempati wilayah sepanjang pantai Teluk
Bone.
Saat ini kondisi wilayah permukiman Suku Bajo di
Kelurahan BajoE telah dihubungkan melalaui jalan setapak dan jembatan kayu
menuju daratan. Jika di Desa Terapung kondisi permukiman masih belum tertata
rapi dan terlihat sebagian daerah telah terhubung langsung ke daratan melalui
jembatan kayu dan bagian lainnya masih menggunakan perahu. Pihak pemerintah
Kabupaten Buton pernah memindahkan permukiman Suku Bajo ke daratan, namun
mereka kembali lagi ke perairan dan bermukim disana. Hal yang berbeda terjadi
di Desa La Gasa dimana kondisi permukiman telah tertata rapi dan memiliki patok
batas wilayah perairan, bahkan beberapa rumah telah memiliki sertifikat yang
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan izin tertulis dari Kepala
Desa. Terdapat syarat dalam membangun rumah seluas 20 x 15 m2 dan memiliki
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pada Desa Tanjung Pinang, memiliki kondisi
permukiman yang lebih padat dari desa yang dihuni oleh Suku Bajo. Masyarakat desa
ini telah membangun jembatan yang mengoneksikan setiap rumah. Sama halnya di
Desa La Gasa, masyarakat suku Bajo di Desa Tanjung Pinang yang membangun rumah
memiliki syarat luas tidak lebih dari 300 m2 dengan ketentuan membayar PBB.
Pada desa ini terdapat pula perolehan wilayah perairan melalui perwarisan dan
jual beli.
Dari sisi budaya dan kepercayaan Suku Bajo mengakui kekuatan
gaib yang ada di laut. Kepercayaan tersebut membuat masyarakat Suku Bajo sering
melakukan ritual-ritual tertentu yang hingga sekarang masih di pertahankan.
Salah satunya adalah Upacara Sangal yang dilakukan saat musim kekurangan ikan
dan spesies laut lainnya. Dimana mereka akan melepas spesies yang jumlah
produksinya sedang menurun seperti melepas penyu saat populasi tersebut
berkurang. Ritual Tika Malupapinang adalah ritual yang dilakukan saat awal
musim dan hasil laut berkurang. Upacara ini dilakukan selama 3 hari dengan
tidak melaut agar penghuni laut dapat mengatur laut. Selain itu, di kehidupan
sehari-hari kegiatan yang dilakukan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari
kebiasan yang telah ada seperti dilarang membuang lombok dan jeruk nipis,
dilarang menumpahkan atau membuang air cucian piring serta air cucian jagung ke
laut dan lainnya. Terdapat kearifaan lokal Suku Bajo dalam melaut dan mengambil
hasil laut yaitu dengan mengambil ikan yang telah matang usianya dan membiarkan
ikan yang muda serta tidak mengambil ikan tertentu yang tengah memasuki siklus
musim kawin ataupun bertelur demi menjaga keseimbangan populasi tersebut.
Nelayan Suku Bajo memiliki pengetahuan dalam melaut
dan menangkap ikan dimana mereka mampu memprediksikan lokasi yang diketahui
memiliki banyak ikan dengan melihat tanda-tanda. Pengetahun lainnya yang
dikuasai oleh nelayan suku bajo yaitu terkait alat tangkap yang sederhana dan ramah
lingkungan. Alat tangkap yang digunakan berupa pancing dengan mata kail dengan
ukuran besar, panah, tombak, peralatan bunre dan cedo yang terbuat dari jaring
nilon berbentuk jaring basket dengan rotan yang melingkar. Penggunaan jenis
alat tangkap seperti ini dapat menjaga keseimbangan sumber daya laut karena
tidak merusak lingkungan. Dengan menerapkan adat-istiadat dari turun temurun
sebagai nilai dalam pola penguasaan dan pemanfaatan wilayah perairan pesisir dianggap
sangat bijak dalam menjaga kelesatarian laut.
Penguasaan wilayah perairan secara turun menurun
hingga saat ini masih ada sehingga mendasari suatu hak atas wilayah perairan
berdasarkan hukum adat. Masyarakat Suku Bajo mengenal perwarisan dan transaksi
(jual beli) atas wilayah perairan sehingga dapat disimpulkan bahwa suku bajo
memandang wilayah perairan sebagai benda yang dapat dikuasai karena memiliki
nilai ekonomis dan dikuasai secara perorangan. Hal ini ditandai adanya peran
Kepala Daerah yang memberikan izin pengkapan ikan, izin mendirikan
bangunan/rumah, sebagai saksi ketika ada perbuatan jual beli. Selain itu, pembayaran
PBB dan sertifikat diterbitkan melalui PRONA yang menjadi acuan bagi pemeritah dalam
mengakui dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum terhadap wilayah
perairan yang dikuasai dan dimanfaatkan secara turun temurun oleh masyarakat.
Pemberian sertifikat untuk permukiman seharusnya dapat dipertimbangkan untuk
menetapkan zonasi wilayah tangkapan ikan dan zonasi wilayah permukiman bagi Suku
Bajo.
Kemiskinan nelayan Suku Bajo memerlukan
kebijakan pemerintah meliputi ketersediaan hukum dan perundang-undangan (RUU
tentang pertanahan, RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan
Pembudidayaan Ikan, RPP Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan WP3K). Adanya
kemiskinan masyarakat nelayan pesisir disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain nelayan hanya menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama sehingga tidak
ada variasi pekerjaan yang lain yang dilakukan saat produksi ikan berkurang. Status
sumber daya perikanan yang merupakan akses terbuka (open access) dan
bebas dimanfaatkan dan dikelola oleh semua pihak. Jika kondisi ini terus
terjadi maka upaya dalam peningkatan kesejahteraan yang dilakukan tidak akan
memberikan hasil yang yang maksimal. Adanya akses terbuka menyebabkan tidak
terpeliharanya sumber daya perikanan dan terjadi eksploitasi perairan tanpa
batas. Untuk itu, perlu adanya tata kelola perikanan dengan penegasan pada
pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan nelayan dengan mengubah akses
terbuka menjadi akses terbatas dan terkendali. Perlu penentapan pola
pemanfaatan melalui zonasi, memetakan wilayah penangkapan ikan, permukiman,
transportasi, pariwisata dan lainnya sehingga tidak menimbulkan konflik
terhadap pemanfaatan wilayah perairan. Diperlukan juga kepastian dan
perlindungan hukum bagi nelayan pada wilayah tangkapan ikan dan wilayah
perairan yang menjadi tempat tinggal Suku Bajo. Pemerintah melalui berbagai
perundang-undangan telah mengatur pengelolaan wilayah pesisir, namun hingga
saat ini belum memberikan hasil yang maksimal dalam penegakkan hukumnya
terutama pada pemberian hak atas wilayah perairan terhadap masyarakat lokal
maupun adat.
·
Kritik dan Saran
Berdasarkan pada penelitian “Pola Penguasaan Dan
Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun Temurun Oleh Suku Bajo” bahwa
adanya relevansi antara judul penelitian dengan hasil yang di peroleh. Dimana
pola penguasaan dan pemanfaatan perairan oleh Suku Bajo berupa penguasaan
terhadap wilayah perairan karena masayarakat Suku Bajo telah lama menetap
disana, penggunaan alat tangkap yang masih sederhana sehingga tidak mengganggu
ekosistem wilayah perairan, pelaksaan upacara adat dalam memanfaatkan perairan
sebagai sumber utama penghasilan serta adanya aturan-aturan yang tidak tertulis
yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dalam memberikan izin membangun rumah dan
kegiatan penangkapan ikan.
Pembahasan yang disajikan pada jurnal tersebut telah
cukup baik untuk dipahami bagi pembaca karena ada terdapat beberapa istilah
bahasa yang jarang ditemui seperti bidok yang memiliki arti perahu dan lainnya.
Selain itu, diberikan beberapa data dalam menguatkan pernyataan yang ada
seperti persentase data jumlah nelayan sebagai mata pencaharian Suku Bajo dengan
jumlah penduduk yang menetap di wilayah perairan tersebut serta jumlah rumah
nelayan di atas air yang dirincikan sesuai desa yang dihuni oleh masyarakat
Suku Bajo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa analisis
deskriptif kualitatif telah baik dilakukan karena dapat menggali permasalahan
dan fenomena lebih dalam dari masyarakat Suku Bajo yang tinggal di wilayah
perairan. Namun perlu diperhatikan kembali, karena analisis ini bersifat
kualitatif sehingga adanya kemungkinan pendapat yang subjektif akan ditemui. Oleh
karena itu, perlu adanya pengumpulan dan pengolahan data yang lebih didetailkan
lagi agar hasil yang di dapat lebih objektif.
Berdasarkan jurnal yang lain yaitu “Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan Berbasis Kearifan Lokal Di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai
Timur” dengan menggunakan analisis deskriptif bahwa kepercayaan yang berkaitan
dengan kegiatan penangkapan ikan di laut meliputi tidak boleh menangkap jenis
ikan tertentu (hiu tutul). Selain itu digunakan alat tangkap yang ramah
lingkungan yaitu jaring dengan mesh size yang seletif dan melestarikan wilayah
perkembangbiakan ikan dengan menggunakan rumpon. Pada jurnal ini memiliki
kelebihan dan kekurangan yaitu dimana kelebihannya terletak pada metode yang
dilakukan yaitu dengan menggunakan teknk PRA (Partisipatory Rural Appraisal)
serta FGD (Forum Group Discussion) sehingga informasi yang didapat tidak
hanya berasal dari satu pihak namun melibatkan banyak pihak. Namun pada jurnal
penelitian ini memiliki kelemahan dimana penjelasan penelitian hanya terbatas
pada alat yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, tidak adanya
kearifan lokal yang lain seperti upacara melepaskan ikan jika terjadi
kekurangan jumlah produksi ikan. Selain itu, berdasarkan jurnal “Pembangunan
Hukum Perlindungan Nelayan Tradisional di Aceh Dalam Kaitan Pemanfaatan Sumber
Daya Perikanan Secara Berkeadilan” dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif
yang melihat dari hukum dalam perspektif sosial bahwa perlindungan nelayan
tradisional sangat penting dilakukan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan karena
keberadaan mereka dalam memanfaatka sumber daya
tidak semata-mata sebagai kegiatan ekonomi tetapi juga terkait dengan
budaya dan lingkungan. Terdapat kelebihan yang ada pada penelitian ini yaitu
kedalaman analisis yang dilakukan dimana pada penelitian ini memberikan konsep
pembaharuan dalam memperbaiki sistem namun dengan tetap berdasar pada UUD 1945.
Namun terdapat kelemahan pada jurnal ini dimana penelitian ini masih kurang
informatif dalam penyajian datanya, data yang ditampilkan hanya berupa
deskriptif sehingga menyulitkan pembaca dalam menangkap isi pembahasan.
Setelah mengkaji jurnal yang ada maka diperoleh
manfaat yaitu bagaimana masyarakat tradisional khususnya penduduk Suku Bajo memanfaatkan
wilayah perairan dengan bijak dan memperhatikan kelestarian dan keseimbangan
ekosistem di wilayah perairan karena laut juga merupakan salah satu sumber
kehidupan yang memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Masyarakat yang
bermukim di wilayah pesisir perlu adanya kepastian dan perlindungan hukum agar
konflik tumpang tindih kebijakan tidak terjadi serta melakukan penetapan zonasi
agar pengelolaan sumber daya laut dapat terarah dilakukan dengan maksimal.
·
Penutup
Berdasarkan pada kajian mengenai “Pola
Penguasaan Dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun Temurun Oleh
Suku Bajo” bahwa terdapat kesamaan kegiatan dari beberapa daerah yang dihuni
oleh Suku Bajo salah satunya yaitu pemanfaatan wilayah perairan dengan
menggunakan alat tangkap yang tradisional agar tidak merusak ekosistem yang
ada. Selain itu pada desa yang dihuni Suku Bajo diharapkan mendapat aspek
legaitas dari pemerintah agar adannya kepastian dan perlindungan hukum bagi
nelayan pada wilayah tangkapan ikan dan wilayah perairan yang menjadi tempat
tinggal Suku Bajo. Pemerintah juga perlu memaksimalkan pelaksanaan dari perundang-undangan
terkait pengelolaan wilayah pesisir agar tidak terjadi tumpang tindih
kepentingan. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan
peraturan mengenai pemanfaatan dan pengelolaan seperti rencana zonasi wilayah
perairan dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) bagi wilayah perairan yang dihuni oleh
masyarakat Suku Bajo agar dapat mensejahteraan masyarkat di sekitar wilayah
tersebut.
Daftar Pustaka
Nur, Susyanti Sri. 2015. Pola Penguasaan
Dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun Temurun Oleh Suku Bajo. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu & Call
For Papers Unisbank (Sendi_U) : Makassar.
Julaini. 2015. Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan Berbasis Kearifan Lokal Di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai
Timur. Ziraa’Ah Volume 40 Nomor 1 : Samarinda.
Sulaiman, M. Adli Abdullah,
Teuku Muttaqin Mansur dan Zulfan. 2014. Pembangunan Hukum
Perlindungan Nelayan Tradisional di Aceh Dalam Kaitan Pemanfaatan Sumber Daya
Perikanan Secara Berkeadilan. Jurnal Media Hukum : Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar